Suara.com - Eksekusi terhadap Clayton Lockett, seorang terpidana mati di Oklahoma AS, Selasa (29/4/2014) sempat dihentikan karena ada masalah dengan suntikan mati. Namun narapidana tersebut tewas akibat serangan jantung, 40 menit setelah obat mematikan itu mengalir ke tubuhnya.
Juru bicara penjara Oklahoma, Jerry Massie mengatakan, 13 menit setelah obat disuntikkan, Lockett sempat mengangkat kepalanya dan menggumamkan sesuatu. Dokter di lokasi segera menghentikan eksekusi. “Kami yakin pembuluh darahnya pecah dan obat tersebut tidak bekerja seperti yang dirancang. Direktur memerintahkan penghentian eksekusi,” kata Massie.
Lockett diduga meninggal akibat serangan jantung hebat kurang dari sejam setelah obat eksekusi disuntikkan.
Eksekusi terhadap Lockett sudah beberapa minggu ditunda karena perdebatan hukum mengenai campuran kimia baru untuk suntikan mati. Para pengacara berpendapat pemerintah menahan informasi penting mengenai obat-obatan yang digunakan dalam hukuman mati.
Pekan lalu, Mahkamah Tinggi negara bagian Oklahoma mencabut penundaan eksekusi bagi Lockett dan napi lain yang juga dijadwalkan akan dieksekusi pada hari yang sama, dan mengatakan bahwa pemerintah telah memberikan informasi yang cukup mengenai bahan kimia untuk suntik mati bagi memenuhi persyaratan konstitusional.
“Eksekusi untuk napi lain, Charles Warner yang dijadwalkan dua jam setelah Lockett, dimundurkan 14 hari setelah masalah tersebut muncul,” kata Massie.
Pemerintah negara bagian Oklahoma, tahun ini membuat prosedur baru untuk hukuman mati dengan cara disuntik, setelah tidak bisa mendapatkan obat-obatan yang selama ini digunakan untuk eksekusi.
Oklahoma dan negara-negara bagian lain berupaya menemukan pemasok baru dan kombinasi bahan kimia baru setelah produsen obat, terutama dari Eropa, menghentikan penjualan bahan kimia yang sebenarnya ditujukan untuk pengobatan itu. Jaksa penuntut pada kasus-kasus dengan hukuman mati berpendapat bahwa obat yang digunakan di Oklahoma dan negara bagian lain dinilai kejam dan melanggar konstitusi AS. (Antara/Reuters)
Sumber http://ift.tt/1mZlmZe
via suara.com
No comments:
Post a Comment